Glimpse of You
Cerita Fiksi
Sudah empat tahun semenjak dia pergi. Dia, yang tiba-tiba pergi setelah memintaku untuk menunggu tanpa penjelasan apa pun, kemudian hilang tanpa kabar. Dyaksa Faresta Parama.
"Aku harus pergi ke luar negeri sekarang. Ada
yang harus aku beresin. Aku gak bisa kasih tau kemana, aku gak bisa ceritain semuanya
sekarang. Tunggu aku ya. Kalo semuanya udah beres aku temuin kamu lagi di sini."
Itu chat terakhir darinya. Tidak pernah ada
kata putus dari kami. Aku pun pernah menunggunya dan tetap menjaga hati selama
satu tahun. Hingga suatu hari aku mendapatkan chat dari temanku.
Aku diam dan mencoba
untuk mencerna semuanya. Aksa? Siapa perempuan itu? Mengapa mereka berpelukan?
Setahun aku tidak bisa menghubunginya dan tidak ada kabar apa pun darinya. Dan
sekarang aku malah mendapat kabar ini? Apa maksudnya?
Tiga bulan setelah
itu, kuanggap kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun. Meski aku tidak
sepenuhnya ikhlas dengan apa yang telah terjadi. Enam bulan setelahnya aku dekat
dengan seorang pria. Ia tiga tahun lebih tua dariku. Namanya Alsaki Iravan
Wiradharma atau sering kupanggil Mas Saki. Dia orang yang mapan. Dia juga
sekarang sudah dekat dengan kedua orang tuaku. Dia orang yang sangat baik. Aku
nyaman dengannya, namun ingatanku masih sering tertuju pada Aksa. Mas Saki
mengetahui itu. Mas Saki mengetahui masa laluku. Tapi dia tidak pernah mempermasalahkan
itu. Dia tetap bertahan dan menungguku.
“Saya serius sama
kamu. Saya akan tunggu sampai kamu siap.”
Banyak hal yang masih
mengingatkanku pada Aksa.
Suatu hari ketika aku
pulang kerja, Mas Saki menjemputku. Saat itu hujan, Mas Saki menggunakan mobil.
Di dalam mobil aku teringat ketika aku dan Aksa pulang malam, saat itu hujan
dan kami menggunakan motor Aksa. Kami bercanda dan tertawa di bawah hujan.
Hingga esok harinya kami berdua sakit dan kami menertawakan hal itu. Sekarang,
dengan Mas Saki, ia tidak pernah membiarkanku terkena air hujan. Ia selalu
membawakanku payung dan memayungiku. Dia sangat melindungiku. Menyenangkan,
tetapi aku terkadang rindu berada di atas motor dan di bawah hujan yang deras.
Badan yang basah kuyup dan menggigil tetapi aku bahagia.
Tak terasa jariku
berdarah terkena jarum yang aku pegang yang tadinya akan kusimpan di tasku.
“Aw.” Ujarku, terkejut. Mas Saki segera menepikan mobilnya dan segera meraih
tanganku setelah mengeluarkan kain bersih. Ia segera membalut jariku dengan
kain itu. “Kamu kenapa mainin jarum, Dira? Sini, kasih saya.” Ujarnya dengan
lembut lalu mengambil jarum itu dan membuangnya.
Dan aku kembali
teringat Aksa. Saat itu aku sedang memetik bunga mawar di rumahku dan jariku
terkena durinya. Ia segera mengambil bunga itu dari tanganku, meraih tanganku
dan menghisap darah yang keluar kemudian membuang darahnya. “Hati-hati, sayang.
Tajem ini.” Ujarnya lalu mengeluarkan plester dari kantong celananya dan
mengenakannya padaku. “Udah. Abis ini sembuh.” Ujarnya sambil tersenyum lalu
mencium jariku yang sudah terbalut plester.
Mas Saki segera
menjalankan mobilnya. Sesampainya di rumahku, hujan sudah reda. Mas Saki
membukakan pintu mobilnya untukku. Ia kemudian mengikutiku berjalan ke dalam
rumah.
“Saki? Nih, minum
yang anget dulu.” Ujar Mama sambil memberikan secangkir kopi kepadanya setelah
ia duduk beberapa lama di ruang tamu.
“Makasih, Ma. Jadi
ngerepotin.” Ujar Mas Saki.
“Enggak lah. Gak
repot.” Jawab Mama.
“Papa belum pulang
ya, Ma?” Tanya Mas Saki.
“Belum. Nanti agak
maleman baru pulang.” Jawab Mama yang diangguki oleh Mas Saki.
“Mas Saki?” Sapa adik
laki-lakiku yang datang dengan laptop di tangannya.
“Hey, kenapa? Ada
tugas kuliah lagi?” Tanya Mas Saki.
“Iya nih.” Jawab
adikku.
Mereka kemudian
berdiskusi berdua. Aku diam melihat mereka berdua dan kembali teringat Aksa.
“Kak Aksa, jadi mabar
gak?” Tanya adikku yang menghampiri Aksa di halaman rumah.
“Jadi, dong. Ayo
lah.” Jawab Aksa.
“PRnya udah dikerjain
belum?” Tanyaku pada adikku.
Adikku hanya
menampilkan cengirannya.
“Kerjain dulu.”
Ujarku.
“Bentar lah, Kak.
Mumpung Kak Aksa lagi di sini, loh.” Jawab adikku.
“Enggak. Kerjain
dulu.” Ujarku.
“Gapapa lah Yang,
sebentar doang. Segame aja.” Ujar Aksa.
Aku terdiam.
“Nanti abis itu aku
langsung ajak dia kerjain PR.” Bujuk Aksa.
“Bener ya?” Tanyaku.
“Janji.” Jawab Aksa
sambil mengangkat kelingkingnya.
“Janji.” Ujar adikku
mengikuti Aksa mengangkat kelingkingnya.
Aku mengangguk lalu
tersenyum melihat mereka bersorak dan berlari masuk ke dalam rumah untuk
bermain game. Mereka sangat bersenang-senang.
Itulah bagaimana perbedaan mereka dan bagaimana selama ini aku selalu teringat pada Aksa. Kemarin malam, chat dari nomor tak dikenal masuk.
Seperti biasa, ia tidak pernah bertanya atau menawarkan dengan mengucapkan kalimat “Aku jemput ya?” Ia tau betul aku pasti menjawab tidak apabila ditanya atau ditawarkan. Ia selalu langsung melakukannya atau langsung memberikan. Tapi kali ini aku harus menolaknya meskipun ia tidak menawarkan atau bertanya.
Aku termenung dan
mengabari Mas Saki serta meminta izin untuk menemui Aksa. Mas Saki
menyetujuinya dan akan mengantar.
Keesokan harinya,
Aksa sudah berada di sana. Duduk dengan memegang sebuah paperbag.
Aku turun dari mobil
Mas Aksa dan menghampirinya. Melihatku datang, ia segera berdiri dan tersenyum
dengan lebar. Ia hendak memelukku tetapi aku menghindar. Ia mengerti, ia
menurunkan kembali tangannya dan menunduk dengan wajah yang sedih. Kemudian
kami berdua duduk. Hening. Tidak ada suara di antara kami berdua.
“Kemana aja?” Tanyaku
akhirnya, memecahkan keheningan di antara kta.
“Aku.. aku gak tau
harus mulai cerita dari mana. Yang aku tau kamu pasti marah sama aku. Aku minta
maaf. Tapi aku beneran tepatin janji aku buat nemuin kamu setelah beresin
semuanya.” Ujarnya.
“Empat tahun, Sa. Dan
kamu gak ada kabarin aku sama sekali.” Ujarku.
“Maaf. Aku mau
hubungin kamu tapi tas kecilku ilang di airport. Dompet, hp, foto kamu
di dompetku, semua yang ada di situ ilang. Aku bingung hubungin kamu kemana.”
Jawabnya.
“Oke. Terus ini apa
Sa?” Tanyaku lalu menunjukkan foto yang kudapat dari Mira, temanku. Foto Aksa
yang sedang berpelukan dengan seorang wanita di airport.
“Kamu dapet dari mana
itu?” Tanyanya dengan terkejut.
“Kamu gak perlu tau.
Cukup jawab aja.” Jawabku.
“Itu adik aku.”
Ujarnya.
“Kamu punya adik?”
Tanyaku.
“Punya. Kamu tau kan
aku di sini tinggal sendiri? Ayah tinggal sama keluarga barunya. Bunda, ibu
kandungku pindah ke Singapura. Aku ke sana nemuin bundaku, setaun kemudian aku
ke Australia nemuin adik kandung aku. Dia sekolah di sana. Kita pisah waktu aku
umur 5 tahun. Dan kita baru ketemu lagi waktu itu.” Jawabnya.
“Kamu gak pernah
ceritain itu semua ke aku. Aku bahkan gak tau kamu punya adik.” Ujarku.
“Maaf. Aku gak mau
ceritain kesedihan aku ke kamu. Makanya aku gak pernah cerita detail tentang
keluarga aku.” Jawabnya.
Aku terdiam. Semua
ini salah paham.
Aksa meraih tanganku
dan menggenggamnya.
“Aku kangen kamu,
Ra.” Ucapnya kemudian hendak mencium tanganku tetapi terhenti karena melihat
cincin di jariku.
Ia terdiam sejenak
dengan ekspresi terkejut dan kemudian bertanya.
“Ini... apa?”
Tanyanya.
Aku terdiam dan
melepaskan tanganku darinya yang masih menatapku, menunggu jawaban.
“Aku udah tunangan.”
Jawabku tanpa menatapnya. Rasanya berat untuk mengatakannya.
Ia terdiam, mencerna
semuanya.
“Siapa cowok itu Ra?”
Tanya Aksa dengan suara sedikit tercekat.
“Mas Saki. Kamu gak
kenal. Tiga bulan setelah liat foto tadi, aku pikir hubungan kita selesai. Aku
kira itu pacar kamu. Setelah itu Mas Saki datang, kami dekat, dan ya. Kita
tunangan.” Jawabku, masih tidak sanggup untuk menatapnya.
Aksa mengalihkan
pandangannya. Ia terdiam, kemudian menghela napas.
“Maaf, salahku.”
Ucapnya.
Kami terdiam beberapa
lama.
“Jadi, kita udah gak
bisa lagi ya?” Tanyanya kemudian, tanpa menatapku.
“Gak bisa, Sa.”
Jawabku.
Ia menunduk dan
menggenggamkan kedua tangannya sendiri.
“Dira? Masih lama?”
Tanya Mas Saki yang menghampiriku dan Aksa, membuat aku dan Aksa menoleh
kepadanya.
“Bentar lagi Mas. “
Jawabku setelah menoleh ke arah Aksa terlebih dahulu.
“Mas Saki?” Tanya
Aksa kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya pada Mas Saki.
Mas Saki tersenyum
dan menyambut jabatan tangan Aksa.
“Kapan nyampe di
Indo, Sa?” Tanya Mas Saki.
Aksa terlihat
terkejut ketika Mas Saki mengetahui namanya.
“Aksa kan? Saya banyak
denger tentang kamu dari Dira. Dia cerita semua tentang kamu sama saya.” Ujar
Mas Saki sambil tersenyum, seakan mengerti diamnya Aksa.
“Oh.. iya, Mas. Saya
baru nyampe kemarin pagi.” Jawab Aksa kemudian sambil tersenyum.
“Ya udah, masih mau
ngobrol kan? Saya tunggu di mobil lagi.” Ujar Mas Saki.
“Gapapa, Mas?” Tanya
Aksa.
“It’s okay. Take
your time. Oh iya, saya juga mau kasih ini.” Ujar Mas Saki lalu memberi
undangan pernikahan kami minggu depan kepada Aksa.
Aksa menerimanya lalu
memandangi undangan tersebut.
“Saya kembali ke
mobil, ya.” Pamit Mas Saki kemudian berbalik badan dan berjalan pergi.
“Mas Saki!” Panggil
Aksa, mencegah Mas Saki untuk pergi.
Mas Saki berhenti dan
membalikkan badannya.
“Kenapa Sa?” Tanya
Mas Saki lalu tersenyum.
“Maaf kalau saya
lancang, tapi, boleh gak saya izin peluk Vadira? Sekali aja, untuk terakhir
kalinya. Udah itu saya lepaskan Vadira. Saya gak akan ganggu dia.” Aksa meminta
izin kepada Mas Saki.
Mas Saki tersenyum
sebelum kemudian menjawab.
“Iya, silakan. Saya
ngerti.” Jawab Mas Saki.
“Makasih, Mas.” Ucap
Aksa sambi tersenyum senang.
“Saya pergi, ya.”
Pamit Mas Saki kemudian pergi setelah diangguki Aksa.
Kami terdiam.
“Boleh, Ra?” Tanya
Aksa.
Aku berdiri dan
kemudian mengangguk. Aksa segera mendekapku tengan erat.
“Aku kangen banget
sama kamu Ra. Selama ini aku bingung gimana cara hubungin kamu. Aku bingung
gimana jelasinnya. Aku nunggu waktu sampe bisa ketemu kamu. Aku minta maaf buat
itu semua. Aku nyesel.” Ujarnya yang ternyata meneteskan air mata.
Aku membalas
pelukannya sebelum kemudian menjawab.
“Gapapa Sa. Semuanya
udah berubah sekarang. Udah terlalu lama. Ikhlasin aku ya, Sa?” Ujarku.
Aksa mengangguk tanpa
melepaskan pelukannya.
Lima detik kemudian
ia melepaskan pelukannya.
“Maaf.” Ucapnya
sambil menghapus air matanya sendiri lalu mengambil undangan pernikahanku yang
tadi ia simpan di kursi.
“Datang ya, Sa.”
Ucapku sambil melirik kepada kertas undangan yang Aksa pegang.
“Iya. Aku pasti
datang.” Jawabnya.
“Lepasin aku ya? Aku
yakin kamu bisa dapet yang lebih baik dari aku dan bisa bahagiain kamu.”
Ujarku.
“Iya. Aku lepasin
kamu. Jaga diri ya. Semoga kamu bahagia sama Mas Saki.” Jawabnya lalu tersenyum
dengan mata yang masih sedikit merah dan sedikit berair.
“Aku pulang, ya? Mas Saki
udah nunggu.” Pamitku.
“Tunggu, Ra.” Ujarnya
kemudian mengambil paperbag yang ia bawa lalu menyerahkannya padaku.
“Buat kamu.” Ujarnya.
Aku menerimanya.
“Buka nanti aja. Mas Saki
udah nunggu kamu. Ayo, aku anter ke sana.” Ujarnya.
“Makasih.” Ucapku
kemudian berjalan bersamanya menuju mobil Mas Saki.
Mas Saki yang melihat kami datang segera turun dari mobilnya.
“Udah?” Tanya Mas Saki
yang kuangguki sambil tersenyum.
“Ya udah, masuk yuk.”
Ujarnya kemudian membukakan pintu mobil untukku.
“Duluan ya, Sa.” Pamitku
yang kemudian diangguki Aksa.
“Hati-hati, Ra.”
Ujarnya sebelum aku kemudian masuk ke dalam mobil dan Mas Saki menutup pintu
mobil untukku.
Mas Saki kemudian
berjalan menghampiri Aksa.
“Makasih ya, Mas.
Saya titip Dira.” Ucap Aksa.
“Iya, Sa. Makasih
juga udah nemuin Vadira. Saya duluan ya? Jangan lupa dateng minggu depan.” Ujar
Mas Saki.
“Iya, Mas. Pasti.
Hati-hati, Mas.” Ucap Aksa.
Mas Saki mengangguk sambi tersenyum kemudian masuk ke dalam mobil.
Mas Saki membuka kaca mobil
kemudian kembali berpamitan kepada Aksa sebelum akhirnya menjalankan mobilnya.
Aku melihat Aksa dari
spion, ia masih diam di sana dan memandang mobil kami. Setelah aku tak bisa
melihatnya lagi, aku membuka paperbag yang Aksa beri.
“Dari Aksa?” Tanya
Mas Saki setelah melihat paperbag yang kupegang.
“Iya, Mas.” Jawabku
kemudian menutup kembali paperbag tadi.
“Buka aja Dir.
Gapapa, kok. Saya gak pernah masalahin apapun tentang masa lalu kamu kan? Yang
penting kamu bilang.” Ujar Mas Saki sambil tersenyum.
Aku mengangguk
kemudian melihat isinya. Lampu tidur berbentuk bulan, dua kotak susu pisang,
satu cup strawberry milk dari cafe langganan kami dulu,
satu bungkus snack kesukaanku, dan mochi ice cream. Ia masih
ingat semua hal yang kusuka. Aku terdiam memandanginya. Sebuah notifikasi chat
muncul dari handphoneku. Aksa. Aku segera membukanya.
Aku terdiam. Oke,
semuanya sudah selesai sekarang. Aku harus melanjutkan hidup bersama Mas Saki.
Dan Aksa pun akan melanjutkan hidupnya bersama keluarganya.
Perpisahan kita
memang karena kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi. Tapi yang lalu
biarlah berlalu. Kita harus lanjutkan hidup, membuka lembaran baru. Aku sudah
selesai dengan Aksa, dan Aksa pun sudah melepaskanku.

.png)
.png)


.png)
.png)



.png)
Comments
Post a Comment