Glimpse of You


Cerita Fiksi

Sudah empat tahun semenjak dia pergi. Dia, yang tiba-tiba pergi setelah memintaku untuk menunggu tanpa penjelasan apa pun, kemudian hilang tanpa kabar. Dyaksa Faresta Parama.

Sumber gambar: https://pin.it/3WMrycw

"Aku harus pergi ke luar negeri sekarang. Ada yang harus aku beresin. Aku gak bisa kasih tau kemana, aku gak bisa ceritain semuanya sekarang. Tunggu aku ya. Kalo semuanya udah beres aku temuin kamu lagi di sini."

Itu chat terakhir darinya. Tidak pernah ada kata putus dari kami. Aku pun pernah menunggunya dan tetap menjaga hati selama satu tahun. Hingga suatu hari aku mendapatkan chat dari temanku.

 

Aku diam dan mencoba untuk mencerna semuanya. Aksa? Siapa perempuan itu? Mengapa mereka berpelukan? Setahun aku tidak bisa menghubunginya dan tidak ada kabar apa pun darinya. Dan sekarang aku malah mendapat kabar ini? Apa maksudnya?

Tiga bulan setelah itu, kuanggap kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun. Meski aku tidak sepenuhnya ikhlas dengan apa yang telah terjadi. Enam bulan setelahnya aku dekat dengan seorang pria. Ia tiga tahun lebih tua dariku. Namanya Alsaki Iravan Wiradharma atau sering kupanggil Mas Saki. Dia orang yang mapan. Dia juga sekarang sudah dekat dengan kedua orang tuaku. Dia orang yang sangat baik. Aku nyaman dengannya, namun ingatanku masih sering tertuju pada Aksa. Mas Saki mengetahui itu. Mas Saki mengetahui masa laluku. Tapi dia tidak pernah mempermasalahkan itu. Dia tetap bertahan dan menungguku.

Sumber gambar: https://pin.it/2ua4Wxu

“Saya serius sama kamu. Saya akan tunggu sampai kamu siap.”

Banyak hal yang masih mengingatkanku pada Aksa.

Suatu hari ketika aku pulang kerja, Mas Saki menjemputku. Saat itu hujan, Mas Saki menggunakan mobil. Di dalam mobil aku teringat ketika aku dan Aksa pulang malam, saat itu hujan dan kami menggunakan motor Aksa. Kami bercanda dan tertawa di bawah hujan. Hingga esok harinya kami berdua sakit dan kami menertawakan hal itu. Sekarang, dengan Mas Saki, ia tidak pernah membiarkanku terkena air hujan. Ia selalu membawakanku payung dan memayungiku. Dia sangat melindungiku. Menyenangkan, tetapi aku terkadang rindu berada di atas motor dan di bawah hujan yang deras. Badan yang basah kuyup dan menggigil tetapi aku bahagia.

Tak terasa jariku berdarah terkena jarum yang aku pegang yang tadinya akan kusimpan di tasku. “Aw.” Ujarku, terkejut. Mas Saki segera menepikan mobilnya dan segera meraih tanganku setelah mengeluarkan kain bersih. Ia segera membalut jariku dengan kain itu. “Kamu kenapa mainin jarum, Dira? Sini, kasih saya.” Ujarnya dengan lembut lalu mengambil jarum itu dan membuangnya.

Dan aku kembali teringat Aksa. Saat itu aku sedang memetik bunga mawar di rumahku dan jariku terkena durinya. Ia segera mengambil bunga itu dari tanganku, meraih tanganku dan menghisap darah yang keluar kemudian membuang darahnya. “Hati-hati, sayang. Tajem ini.” Ujarnya lalu mengeluarkan plester dari kantong celananya dan mengenakannya padaku. “Udah. Abis ini sembuh.” Ujarnya sambil tersenyum lalu mencium jariku yang sudah terbalut plester.

Mas Saki segera menjalankan mobilnya. Sesampainya di rumahku, hujan sudah reda. Mas Saki membukakan pintu mobilnya untukku. Ia kemudian mengikutiku berjalan ke dalam rumah.

“Saki? Nih, minum yang anget dulu.” Ujar Mama sambil memberikan secangkir kopi kepadanya setelah ia duduk beberapa lama di ruang tamu.

“Makasih, Ma. Jadi ngerepotin.” Ujar Mas Saki.

“Enggak lah. Gak repot.” Jawab Mama.

“Papa belum pulang ya, Ma?” Tanya Mas Saki.

“Belum. Nanti agak maleman baru pulang.” Jawab Mama yang diangguki oleh Mas Saki.

“Mas Saki?” Sapa adik laki-lakiku yang datang dengan laptop di tangannya.

“Hey, kenapa? Ada tugas kuliah lagi?” Tanya Mas Saki.

“Iya nih.” Jawab adikku.

Mereka kemudian berdiskusi berdua. Aku diam melihat mereka berdua dan kembali teringat Aksa.

“Kak Aksa, jadi mabar gak?” Tanya adikku yang menghampiri Aksa di halaman rumah.

“Jadi, dong. Ayo lah.” Jawab Aksa.

“PRnya udah dikerjain belum?” Tanyaku pada adikku.

Adikku hanya menampilkan cengirannya.

“Kerjain dulu.” Ujarku.

“Bentar lah, Kak. Mumpung Kak Aksa lagi di sini, loh.” Jawab adikku.

“Enggak. Kerjain dulu.” Ujarku.

“Gapapa lah Yang, sebentar doang. Segame aja.” Ujar Aksa.

Aku terdiam.

“Nanti abis itu aku langsung ajak dia kerjain PR.” Bujuk Aksa.

“Bener ya?” Tanyaku.

“Janji.” Jawab Aksa sambil mengangkat kelingkingnya.

“Janji.” Ujar adikku mengikuti Aksa mengangkat kelingkingnya.

Aku mengangguk lalu tersenyum melihat mereka bersorak dan berlari masuk ke dalam rumah untuk bermain game. Mereka sangat bersenang-senang.

Itulah bagaimana perbedaan mereka dan bagaimana selama ini aku selalu teringat pada Aksa. Kemarin malam, chat dari nomor tak dikenal masuk.

Seperti biasa, ia tidak pernah bertanya atau menawarkan dengan mengucapkan kalimat “Aku jemput ya?” Ia tau betul aku pasti menjawab tidak apabila ditanya atau ditawarkan. Ia selalu langsung melakukannya atau langsung memberikan. Tapi kali ini aku harus menolaknya meskipun ia tidak menawarkan atau bertanya.


Aku termenung dan mengabari Mas Saki serta meminta izin untuk menemui Aksa. Mas Saki menyetujuinya dan akan mengantar.

Keesokan harinya, Aksa sudah berada di sana. Duduk dengan memegang sebuah paperbag.

Aku turun dari mobil Mas Aksa dan menghampirinya. Melihatku datang, ia segera berdiri dan tersenyum dengan lebar. Ia hendak memelukku tetapi aku menghindar. Ia mengerti, ia menurunkan kembali tangannya dan menunduk dengan wajah yang sedih. Kemudian kami berdua duduk. Hening. Tidak ada suara di antara kami berdua.

“Kemana aja?” Tanyaku akhirnya, memecahkan keheningan di antara kta.

“Aku.. aku gak tau harus mulai cerita dari mana. Yang aku tau kamu pasti marah sama aku. Aku minta maaf. Tapi aku beneran tepatin janji aku buat nemuin kamu setelah beresin semuanya.” Ujarnya.

“Empat tahun, Sa. Dan kamu gak ada kabarin aku sama sekali.” Ujarku.

“Maaf. Aku mau hubungin kamu tapi tas kecilku ilang di airport. Dompet, hp, foto kamu di dompetku, semua yang ada di situ ilang. Aku bingung hubungin kamu kemana.” Jawabnya.

“Oke. Terus ini apa Sa?” Tanyaku lalu menunjukkan foto yang kudapat dari Mira, temanku. Foto Aksa yang sedang berpelukan dengan seorang wanita di airport.

Sumber gambar: https://pin.it/3WMrycw

“Kamu dapet dari mana itu?” Tanyanya dengan terkejut.

“Kamu gak perlu tau. Cukup jawab aja.” Jawabku.

“Itu adik aku.” Ujarnya.

“Kamu punya adik?” Tanyaku.

“Punya. Kamu tau kan aku di sini tinggal sendiri? Ayah tinggal sama keluarga barunya. Bunda, ibu kandungku pindah ke Singapura. Aku ke sana nemuin bundaku, setaun kemudian aku ke Australia nemuin adik kandung aku. Dia sekolah di sana. Kita pisah waktu aku umur 5 tahun. Dan kita baru ketemu lagi waktu itu.” Jawabnya.

“Kamu gak pernah ceritain itu semua ke aku. Aku bahkan gak tau kamu punya adik.” Ujarku.

“Maaf. Aku gak mau ceritain kesedihan aku ke kamu. Makanya aku gak pernah cerita detail tentang keluarga aku.” Jawabnya.

Aku terdiam. Semua ini salah paham.

Aksa meraih tanganku dan menggenggamnya.

“Aku kangen kamu, Ra.” Ucapnya kemudian hendak mencium tanganku tetapi terhenti karena melihat cincin di jariku.

Ia terdiam sejenak dengan ekspresi terkejut dan kemudian bertanya.

“Ini... apa?” Tanyanya.

Aku terdiam dan melepaskan tanganku darinya yang masih menatapku, menunggu jawaban.

“Aku udah tunangan.” Jawabku tanpa menatapnya. Rasanya berat untuk mengatakannya.

Ia terdiam, mencerna semuanya.

“Siapa cowok itu Ra?” Tanya Aksa dengan suara sedikit tercekat.

“Mas Saki. Kamu gak kenal. Tiga bulan setelah liat foto tadi, aku pikir hubungan kita selesai. Aku kira itu pacar kamu. Setelah itu Mas Saki datang, kami dekat, dan ya. Kita tunangan.” Jawabku, masih tidak sanggup untuk menatapnya.

Aksa mengalihkan pandangannya. Ia terdiam, kemudian menghela napas.

“Maaf, salahku.” Ucapnya.

Kami terdiam beberapa lama.

“Jadi, kita udah gak bisa lagi ya?” Tanyanya kemudian, tanpa menatapku.

“Gak bisa, Sa.” Jawabku.

Ia menunduk dan menggenggamkan kedua tangannya sendiri.

“Dira? Masih lama?” Tanya Mas Saki yang menghampiriku dan Aksa, membuat aku dan Aksa menoleh kepadanya.

“Bentar lagi Mas. “ Jawabku setelah menoleh ke arah Aksa terlebih dahulu.

“Mas Saki?” Tanya Aksa kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya pada Mas Saki.

Mas Saki tersenyum dan menyambut jabatan tangan Aksa.

“Kapan nyampe di Indo, Sa?” Tanya Mas Saki.

Aksa terlihat terkejut ketika Mas Saki mengetahui namanya.

“Aksa kan? Saya banyak denger tentang kamu dari Dira. Dia cerita semua tentang kamu sama saya.” Ujar Mas Saki sambil tersenyum, seakan mengerti diamnya Aksa.

“Oh.. iya, Mas. Saya baru nyampe kemarin pagi.” Jawab Aksa kemudian sambil tersenyum.

“Ya udah, masih mau ngobrol kan? Saya tunggu di mobil lagi.” Ujar Mas Saki.

“Gapapa, Mas?” Tanya Aksa.

It’s okay. Take your time. Oh iya, saya juga mau kasih ini.” Ujar Mas Saki lalu memberi undangan pernikahan kami minggu depan kepada Aksa.

Aksa menerimanya lalu memandangi undangan tersebut.

“Saya kembali ke mobil, ya.” Pamit Mas Saki kemudian berbalik badan dan berjalan pergi.

“Mas Saki!” Panggil Aksa, mencegah Mas Saki untuk pergi.

Mas Saki berhenti dan membalikkan badannya.

“Kenapa Sa?” Tanya Mas Saki lalu tersenyum.

“Maaf kalau saya lancang, tapi, boleh gak saya izin peluk Vadira? Sekali aja, untuk terakhir kalinya. Udah itu saya lepaskan Vadira. Saya gak akan ganggu dia.” Aksa meminta izin kepada Mas Saki.

Mas Saki tersenyum sebelum kemudian menjawab.

“Iya, silakan. Saya ngerti.” Jawab Mas Saki.

“Makasih, Mas.” Ucap Aksa sambi tersenyum senang.

“Saya pergi, ya.” Pamit Mas Saki kemudian pergi setelah diangguki Aksa.

Kami terdiam.

“Boleh, Ra?” Tanya Aksa.

Aku berdiri dan kemudian mengangguk. Aksa segera mendekapku tengan erat.

Sumber gambar: https://pin.it/5jL4chj

“Aku kangen banget sama kamu Ra. Selama ini aku bingung gimana cara hubungin kamu. Aku bingung gimana jelasinnya. Aku nunggu waktu sampe bisa ketemu kamu. Aku minta maaf buat itu semua. Aku nyesel.” Ujarnya yang ternyata meneteskan air mata.

Aku membalas pelukannya sebelum kemudian menjawab.

“Gapapa Sa. Semuanya udah berubah sekarang. Udah terlalu lama. Ikhlasin aku ya, Sa?” Ujarku.

Aksa mengangguk tanpa melepaskan pelukannya.

Lima detik kemudian ia melepaskan pelukannya.

“Maaf.” Ucapnya sambil menghapus air matanya sendiri lalu mengambil undangan pernikahanku yang tadi ia simpan di kursi.

“Datang ya, Sa.” Ucapku sambil melirik kepada kertas undangan yang Aksa pegang.

“Iya. Aku pasti datang.” Jawabnya.

“Lepasin aku ya? Aku yakin kamu bisa dapet yang lebih baik dari aku dan bisa bahagiain kamu.” Ujarku.

“Iya. Aku lepasin kamu. Jaga diri ya. Semoga kamu bahagia sama Mas Saki.” Jawabnya lalu tersenyum dengan mata yang masih sedikit merah dan sedikit berair.

“Aku pulang, ya? Mas Saki udah nunggu.” Pamitku.

“Tunggu, Ra.” Ujarnya kemudian mengambil paperbag yang ia bawa lalu menyerahkannya padaku.

“Buat kamu.” Ujarnya.

Aku menerimanya.

“Buka nanti aja. Mas Saki udah nunggu kamu. Ayo, aku anter ke sana.” Ujarnya.

“Makasih.” Ucapku kemudian berjalan bersamanya menuju mobil Mas Saki.

Mas Saki yang melihat kami datang segera turun dari mobilnya.

“Udah?” Tanya Mas Saki yang kuangguki sambil tersenyum.

“Ya udah, masuk yuk.” Ujarnya kemudian membukakan pintu mobil untukku.

“Duluan ya, Sa.” Pamitku yang kemudian diangguki Aksa.

“Hati-hati, Ra.” Ujarnya sebelum aku kemudian masuk ke dalam mobil dan Mas Saki menutup pintu mobil untukku.

Mas Saki kemudian berjalan menghampiri Aksa.

“Makasih ya, Mas. Saya titip Dira.” Ucap Aksa.

“Iya, Sa. Makasih juga udah nemuin Vadira. Saya duluan ya? Jangan lupa dateng minggu depan.” Ujar Mas Saki.

“Iya, Mas. Pasti. Hati-hati, Mas.” Ucap Aksa.

Mas Saki mengangguk sambi tersenyum kemudian masuk ke dalam mobil.


Mas Saki membuka kaca mobil kemudian kembali berpamitan kepada Aksa sebelum akhirnya menjalankan mobilnya.

Aku melihat Aksa dari spion, ia masih diam di sana dan memandang mobil kami. Setelah aku tak bisa melihatnya lagi, aku membuka paperbag yang Aksa beri.

“Dari Aksa?” Tanya Mas Saki setelah melihat paperbag yang kupegang.

“Iya, Mas.” Jawabku kemudian menutup kembali paperbag tadi.

“Buka aja Dir. Gapapa, kok. Saya gak pernah masalahin apapun tentang masa lalu kamu kan? Yang penting kamu bilang.” Ujar Mas Saki sambil tersenyum.

Aku mengangguk kemudian melihat isinya. Lampu tidur berbentuk bulan, dua kotak susu pisang, satu cup strawberry milk dari cafe langganan kami dulu, satu bungkus snack kesukaanku, dan mochi ice cream. Ia masih ingat semua hal yang kusuka. Aku terdiam memandanginya. Sebuah notifikasi chat muncul dari handphoneku. Aksa. Aku segera membukanya.

Aku terdiam. Oke, semuanya sudah selesai sekarang. Aku harus melanjutkan hidup bersama Mas Saki. Dan Aksa pun akan melanjutkan hidupnya bersama keluarganya.

Perpisahan kita memang karena kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi. Tapi yang lalu biarlah berlalu. Kita harus lanjutkan hidup, membuka lembaran baru. Aku sudah selesai dengan Aksa, dan Aksa pun sudah melepaskanku.

Comments

Popular posts from this blog

30 Days Writing Challenge- #19 First Love

30 Days Writing Challenge- #4 Wisata Impian

30 Days Writing Challenge- #28 Mencintai Orang yang Berbeda Keyakinan