Alshana Sarkara

 Cerita Fiksi

"Na?" panggil seseorang.

Aku terkejut. Bukan hanya karena ada yang mengenalku di tempat yang kurasa tidak akan ada orang yang mengenaliku. Tetapi juga karena orang yang memanggil itu adalah masa laluku. Sarkara, mantanku yang belum genap sebelas bulan putus denganku.

"Eh, Ka?" jawabku dengan canggung setelah ia mendekat.

"Kuliah di sini juga?" tanya Sarka.

"Iya, Sa." jawabku.

Dia bertanya dengan kata 'juga', yang mana berarti ia kuliah di sini.

"Ambil jurusan apa?" tanyanya.

"Psikologi." jawabku.

"Wih, congrats ya. Itu deketan sama fakultasku btw. Ayo, bareng aja." ujarnya.

"Emang kamu ambil jurusan apa?" tanyaku.

"Hukum." jawabnya.

Aku menatapnya dengan terkejut.

"Kenapa?" tanyanya sambil tersenyum.

"Gapapa." jawabku sambil mengalihkan pandangan.

"Ya udah, yuk." ajaknya.

Kami berdua berjalan dari tempat parkir.

"Kaget ya aku ambil hukum?" tanya Sarka.

Aku hanya menangguk sambil tersenyum canggung.

"Aku emang akhirnya ngikutin maunya bunda, Na. Tapi aku seneng kok. Aku sekarang udah mulai tertarik sama jurusan ini." ujarnya.

"Udah gak alergi baca pasal?" tanyaku.

Dia tertawa seketika.

"Masih, sih. Tapi ya jalanin ajalah." jawabnya.

Tak terasa kami sudah berada di depan gedung fakultasku.

"Aku lanjut ke fakultasku ya, Na. Tuh, di sebelah." pamitnya lalu menunjuk gedung fakultasnya yang berada tepat di sebelah gedung fakultasku.

"Iya, Ka." jawabku.

Dia pun tersenyum lalu pergi.

Setelah selesai kelas, aku pergi sendirian untuk makan siang. Bukan karena tidak memiliki teman, tetapi aku memutuskan untuk tidak berteman dekat dengan siapa pun. Cukup berteman biasa saja. Aku ingin sendirian tanpa terikat circle pertemanan.

Ketika aku baru saja duduk setelah memesan mie ayam dan menunggu mie ayamku datang, seseorang menghampiriku.

“Ana?” sapanya lalu duduk di hadapanku.

Aku tersenyum kepadanya.

“Aku boleh di sini?” tanya Sarka, menunjuk kursi di hadapanku.

“Boleh.” jawabku.

“Kamu udah pesen?” tanya Sarka sambil melepaskan tasnya.

“Udah.” jawabku.

“Ya udah, aku pesen dulu ya.” pamitnya lalu berdiri dan pergi setelah menyimpan tas dan jaketnya.

Tak lama kemudian ia kembali dengan dua gelas es teh di tangannya lalu memberikan segelas untukku.

“Makasih.” ucapku.

Ia mengambil sedotan dari gelasnya lalu menaruhnya di meja dan meneguk es tehnya.

“Panas banget ya di sini.” ujarnya setelah itu.

“Iya.” jawabku.

“Kamu kok kuliah di sini? Bukannya kamu bilang mau diem di Bandung aja, gak mau pindah ke mana-mana?” tanya Sarka.

“Pengen nyoba aja, Ka. Pengalaman. Lumayan lah empat tahun doang tinggal di luar kota. Luar pulau malah.” jawabku yang diangguki olehnya.

“Kamu juga kenapa jadi kuliah di sini? Bukannya bunda kamu gak bolehin kuliah jauh-jauh?” tanyaku.

“Aku maksa. Aku bilang gak mau kuliah kalau tetep di pulau Jawa. Jadi bunda bolehin, asal ambil hukum.” jawabnya.

Aku mengangguk paham.

“Terus sama Alin gimana? LDR dong?” tanyaku.

“LDR apa sih Na? Aku gak pacaran sama dia.” jawabnya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ya aku gak suka sama dia.” jawabnya dengan wajah yang terlihat tidak ingin membahas ini. Maka aku tidak melanjutkan pertanyaanku.

Tak lama kemudian makanan kami datang. Sarka mendekatkan saus, kecap, dan sambal ke arahku. Aku pun menuangnya.

“Gak enak ya hadep-hadepan gini. Biasanya kita samping-sampingan kalo lagi makan bareng.” ujarnya dan hanya dibalas dengan senyuman canggung olehku.

Kami pun makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan menyelimuti kami pada saat itu. Setelah itu kami memutuskan untuk pergi ke taman yang dekat dengan fakultas kami untuk menunggu kelas selanjutnya.

“Kita gak bisa lagi ya, Na?” tanya Sarka.

“Kan kamu yang putusin aku, Ka.” jawabku lalu tertawa.

“Loh, itu keputusan kita berdua, Na. Kita yang ambil keputusan itu.” ujar Sarka yang hanya dibalas tawa olehku.

“Maaf. Kamu tau kan itu bukan keinginan aku.” ucapnya.

“Ya bukan keinginan aku juga, Ka. Tapi ya gimana lagi?” ujarku lalu tertawa.

“Na, kamu gak mau kita mulai lagi?” tanya Sarka.

Aku berhenti tertawa dan menatapnya dengan bingung lalu mengalihkan pandanganku.

“Alshana?” panggilnya sambil terus menatapku.

“Enggak, Ka. Bunda kamu gak setuju kamu sama aku-“

“Bunda mau aku sama Alin. Bukan gak setuju kamu sama aku.” potong Sarka.

“Sama aja.” jawabku.

“Beda. Kalau kamu bilang gitu kesannya aku gak boleh sama kamu doang. Padahal sama cewek mana pun gak boleh kecuali Alin.” ujarnya.

“Iya, Sarka.” ujarku.

“Tapi Na, di sini kan gak ada yang kenal kita. Bunda, Alin, atau siapa pun gak bakal tau kalo kita balikan.” ujarnya.

“Tapi kan kita gak selamanya di sini, Ka. Terus nanti gimana? Harus putus juga ujungnya. Kita udah tau akhirnya, kenapa kita harus mulai?” jawabku.

Sarka menunduk.

“Na, aku beneran gak bisa tanpa kamu.” ujar Sarka lalu menatapku.

Aku menahan air mataku lalu tersenyum.

“Bisa, Ka. Kamu cuma belum terbiasa aja.” jawabku.

“Gak bisa. Aku yang ngerasain. Kamu gak tau.” ujarnya.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah kiri, menahan air mata yang semakin mendesak untuk keluar.

“Na..” ujar Sarka.

Stop, Ka. Kamu jangan kayak gini. Aku makin susah. Kamu kira kamu doang yang gak bisa? Aku juga. Aku blokir semua sosial media kamu, aku putus akses komunikasi kita, bahkan aku pergi jauh ke sini kamu kira kenapa kalau bukan karena aku susah lupain kamu?” ujarku dengan air mata yang kemudian terlolos.

“Aku gak bisa, Ka. Kalau kita maksa, ke depannya bakal sakit buat aku. Bunda kamu gak bakal setuju.” lanjutku.

“Aku bakal belain kamu, Na. Aku bakal lindungin kamu. Kalau kamu takut bunda, aku batasin komunikasi di antara kalian berdua. Kita tinggal jauh dari rumah orang tuaku nanti. Aku gak bakal sering bawa kamu ketemu bunda.” ujar Sarka sambil menatapku dan menggenggam tanganku yang tidak ingin menatapnya.

“Enggak, Ka. Aku gak bisa. Itu terlalu nyakitin buat aku. Hidup aku gak bakal tenang kalau gak punya hubungan baik sama orang tua pasanganku. Aku mau keluarga pasanganku bisa nerima dan memperlakukan aku dengan baik. Kalau situasinya kayak gini, itu gak bakal terwujud.” jawabku tanpa menatapnya.

Sarka menghela napas lalu melepaskan tanganku.

“Maaf, Na.” ucapnya sambil mengalihkan pandangannya.

Kami sama-sama terdiam.

“Gak enak ya putus baik-baik. Susah buat move on soalnya gak ada rasa benci sedikit pun di antara kita. Kita masih sama-sama sayang. Beda ceritanya kalau kita berantem dulu.” Ujar Sarka.

Aku menghapus air mataku.

“Kamu ada kelas sampai jam berapa sekarang?” tanya Sarka.

“Jam 3.” jawabku.

“Pulang pake apa?” tanya Sarka.

“Ojek online.” jawabku.

“Loh? Tadi berangkat pake apa?” tanyanya.

“Ojek online juga.” jawabku.

“Aku kira kamu bawa kendaraan. Terus tadi kenapa bisa jalan lewatin parkiran? Gak diturunin depan fakultas?” tanyanya.

“Tadi abang ojolnya buru-buru. Jadi diturunin di depan.” jawabku.

“Ya udah aku anter aja entar ke kost. Kamu kost di mana?” tanya Sarka.

“Jangan, Ka. Mending kita gak usah ketemu lagi, deh. Aku makin susah lupain kamu kalau gini.” ujarku.

“Segitunya ya, Na? Bener-bener gak bisa lagi kita? Gak ada kesempatan sedikit pun?” tanya Sarka.

“Kamu udah tau jawabannya.” jawabku.

“Kamu bisa, Ka. Kita pasti bisa jalanin hidup masing-masing. Bahagia ya sama pasangan kamu nanti. Entah itu Alin atau siapapun.” lanjutku.

“Aku duluan ya, Ka. Udah mau mulai kelasnya.” pamitku lalu berdiri dan pergi.

Sarka terdiam di sana. Memandangku yang semakin jauh darinya.

 

Comments

Popular posts from this blog

30 Days Writing Challenge- #19 First Love

30 Days Writing Challenge- #4 Wisata Impian

30 Days Writing Challenge- #28 Mencintai Orang yang Berbeda Keyakinan